Senin, 06 Juni 2011

LARANGAN PERKAWINAN KARENA ADA LARANGAN SEMENTARA DAN LARANGAN SELAMANYA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil pernikahan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.
Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila islam mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan., sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq ( Tuhan Maha Pencipta ) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan sejenisnya. Perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanya ketentuan peminangan sebelum kawin ijab-kobul dalam akad nikah yang dipersiapkan pula di hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan ( walimah ). Hak dan kewajiban suami istri timbal-balik diatur amat rapi dan tertip, demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri, diatur pula bagaimana cara mengatasinya. Dituntunkan pula adat sopan santun pergaulan dalam keluarga dengan sebaik-baiknya agar keserasian tetap terpelihara dan terjamin.
Dari uraian tersebut dapat diambil ketentuan bahwa hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam islam sebab hukum perkawinan mengatur tata-cara kehidupan berkeluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya. Hukum perakawinan merupakan bagian dari ajaran agama islam yang wajib ditaati dan liaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Alqur’an dan Sunah Rosul. [1]
B.     Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas munakahah yaitu tentang LARANGAN PERKAWINAN KARENA ADA LARANGAN SEMENTARA DAN LARANGAN SELAMANYA. Dan untuk sebagai bahan ajaran atau acuan kami dalam memahami materi tentang munakahah. Perkawinan menurut islam merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat manusia. Karena itu sudah menjadi hak dan kewajiban kita sebagai umat muslim.
C.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian perkawinan menurut islam?
2.      Apakah ada larangan di dalam perkawinan tersebut?
3.      Apa yang di maksud larangan sementara dan larangan selamanya?












BAB II
ISI
A.    Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rosul-Nya. Hukum islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki. [2]
Dengan demikian, dapat diperoleh suatu pengertian, perkawinan menurut hukum islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridai Allah.
Apabila pengertian tersebut kita bandingkan dengan yang terdapat dalam pasal 1 UU No. 1/1974 pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum islam dan UU No. 1/1974 tidak ad perbedaan yang prinsipil. Menurut UU No. 1/1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
B.     Hukum Melakukan Perkawinan
Meskipun pada dasarnya isalm mengajurkan kawin, apabila ditinjau dari keadaan yang melaksankannya, perkawinanan dapat dikenai hukum wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.
1.      Perkawinan yang Wajib
Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup perkawinan serta ada kekhawatiran, apabila tidak kawin, ia akan mudah tergelincir dan untuk berbuat zina.
2.      Perkawinan yang Sunah
Perkawinan hukumnya sunah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksankan dan memikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina.[4]
3.      Perkawinan yang Haram
Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila kawin juga akan menyusahkan istrinya.[5]
4.      Perkawinan yang Makruh
Perkawinan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dalam segi materiil, cukup mempunyai dana tahan mental  dan agama hingga tidak khawatir akan terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran  tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap istrinya.
5.      Perkawinan yang Mubah
Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyaikan kewajibannya terhadap istri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga bagi kehidupan kelsamatan beragama.[6]
C.    Larangan Perkawinan
1.      Penghalang Perkawinan
Pada dasarnya laki-laki adalah pasangan bagi wanita. Allah menciptakan tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia secara berpasangan-pasangan. Dalam surat Yasin ayat 36 disebutkan:
سبحان الذى خلق الازواج كلها مما تنبت الارض ومن انفسهم ومما لا يعلمون (يس: 36)
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dariapa yang tidak meeka ketahui”.
 (الذاريات: 49) ومن كل شى   خلقنا زوجين لعلّكم تذكرون
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.
Namun demikian, menurut hukum Islam tidak setiap laki-laki dibolehkan kawin dengan setiap perempuan. Ada di antara perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh laki-laki tertentu  karena antara keduanya terdapat penghalang perkawinan yang dalam fiqh munakahat disebut dengan mawani’ an-nikah. Dimaksud dengan penghalang perkawinan atau mawani’ an-nikah yaitu hal-hal, pertalian-pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menghalangi terjadinya perkawinan dan diharamkan melakukan akad nikah antara keduanya.[7]
Secara garis besar, larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut syara’ dibagi menjadi dua, yaitu Larangan Sementara dan Larangan Selamanya. Di antara larangan-larangan selamanya ada yang telah di sepakati dan ada pula yang tidak disepakati. Yang disepakati ada tiga, yaitu : [8]
1.      Nasab ( keturunan )
2.      Pembesanan ( karena pertalian kerabat semenda )
3.      Sesusuan
Sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu :
1.      Zina
2.      Li’an
Larangan-larangan sementara ada sembilan, yaitu :
1.      Larangan bilangan
2.      Larangan mengumpulkan
3.      Larangan kehambaan
4.      Larangan kafir
5.      Larangan ihram
a.       Larangan kawin karena pertalian nasab
Larangan kawin tersebut didasarkan pada firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23 :
.....الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَبَنَاتُ وَخَالاَتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan....
Berdasarkan ayat di atas, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (larangan selamanya) karena pertalian Nasab adalah :
-          Ibu : yang dimaksud ialah perempuan yang ada hubungan darah dalam garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya ke atas)
-          Anak perempuan : yang dimaksud ialah wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan , baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan ke bawah.
-          Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja. [9]
b.      Larangan kawin karena sepersusuan
Larangan kawin karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa’ ayat 23 di atas :
....الرَّضَاعَةِ مِّنَ وَأَخَوَاتُكُم أَرْضَعْنَكُمْ اللاَّتِي وَأُمَّهَاتُكُمُ
( Diharamkan atas kamu mengawini ) ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuan sepersusuan.
-          Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.
-          Saudara susunan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja.
c.       Larangan yang bersifat sementara
Wanita-wanita yang haram dinikahi tidak untuk selamanya  (bersifat sementara) adalah sebagai berikut :
1.      Wanita  yang terkait perkawinan dengan laki-laki lain, haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Keharaman ini  disebutkan dalam An-Nisa’ ayat 24 :
...وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء
dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami...
2.      Wanita yang sedang dalam ‘iddah, baik i’ddah cerai maupun ‘iddah ditinggal mati berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dan 234.
3.      Wanita yang ditalak tiga, haram kawin lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh suami terakhir itu dan telah habis masa ‘iddahnya. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229-230.
D.    Kompilasi Hukum Islam Tentang Perkawinan
Pasal 40
Dilarangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :
a.       Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan dengan pria lain.
b.      Seorang wanita yang masih berada dalam masih masa ‘iddah dengan pria lain.
c.       Seorang wanita yang tidak beragama islam.[10]


Pasal 41
1.      Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya.
a.       Saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya.
b.      Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2.      Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj’i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunya 4 (empat) orang istri, yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i, ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedangkan yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.
Pasal 43
1.      Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a.       Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.
b.      Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.
2.      Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kain dengan pria lain, kemudian perkainan tersebut putus ba’da dakhul dan habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang anita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam.[11]


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Pengertian perkawinan menurut hukum islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridai Allah. UU No. 1/1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut ajaran agama islam larangan perkawinan itu memang ada, bahkan sudah sangat jelas diatur dalam al-qur’an, hadist dan sunah. Jadi bagi umat muslim wajib untuk mematuhinya. Ada 2 hal tentang larangan perkawinan tersebut yaitu : larangan sementara dan larangan selamanya.
Larangan sementara adalah larangan perkawinan hanya dalam waktu sementara tidak untuk selamanya. Contoh dari larangan sementara adalah Wanita yang sedang dalam masa ‘iddah, baik masa i’ddah cerai maupun masa ‘iddah ditinggal mati berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dan 234.
Larangan selamanya adalah larangan perkawinan dalam waktu yang lama atau selama-lamanya contoh nya wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan , baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan ke bawah haram untuk dinikahi.
B.     Saran
Tentang larangan perkawinan tersebut bahwa telah jelas bahwa umat islam tidak boleh asal kawin saja, tetapi juga ada perintah dan larangannya. Tentu nya umat islam harus mengetahui mana yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi.


DAFTAR PUSTAKA
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Kencana Prenada Media Group : Jakarta
A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
M Idris Ramulyo. 1995. Hukum Perkawinan Islam. Sinar Grafika : Jakarta.


[1] A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta. hal 11
[2] A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta. hal 13
[3] Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ( pasal 1 )
[4] A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta. hal 14
[5] Ibid. hal 15
[6] Ibid. hal 16
[7] M Idris Ramulyo. 1995. Hukum Perkawinan Islam. Sinar Grafika : Jakarta. hal 45
[8] Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Kencana Prenada Media Group : jakarta. hal 110
[9] Abdul Rahman. 2010. Fiqih Munakahat. Kencana Prenada Media Group : Jakarta. hal. 111
[10] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
[11] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Pentingnya Supremasi Hukum Dalam Rangka Peningkatan Perlindungan HAM di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Di dunia ini manusialah yang berkuasa yang mengeksploitasi dan mengeksplorasi dunia ini adalah manusia. Karena kekuasaanya itulah maka manusia merupakan pusat atau titik sentral dalam hukum.[1] Dengan demikian, manusia merupakan pelaku atau subjek dan bukan alat atau objek. Sebagai subjek, manusia mempunyai kepentingan di dunia ini dan di dalam suatu subjek hukum, yang mempunyai tuntutan agar diharapkan untuk dipenuhi atau dilaksanakan segala hak dan kewajibannya dalam melaksanakan segala aktivitas di dalam hukum.
Manusia mempunyai kepentingan untuk hidup aman dan damai, tetapi dalam kenyataannya, kepentingan-kepentingan manusia selama ini selalu diancam atau diganggu oleh berbagai bahaya, yang merupakan kendala untuk dapat dilaksanakan atau dipenuhi harapannya.[2] Oleh karena itu kepentingan manusia selalu diganggu oleh bahaya dsekellilingnya, manusia menginginkan adanya perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya, jangan sampai selalu diganggu oleh berbagi bahaya tersebut. Manusia ingin hidup tentram dan damai. Manusia memerlukan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya. Maka kemudian terciptalah perlindungan kepentingan manusia yang tersebut dalam bentuk kaidah atau norma hukum.
Kaidah hukum itu berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia, baik secara individual maupun secara kelompok, maka manusia berkepentingan sekali bila hukum itu dihayati, dipatuhi, dilaksanakan, serta ditegakkan.[3] Maka pada dasarnya ada kesadaran pada diri setiap manusia, bahwa manusia memerlukan perlindungan kepentingan, yaitu hukum : bahwa hukum itu perlu dipatuhi dan dilaksanakan serta ditegakkan agar kepentingannya maupun kepentingan orang lain terlindungi dari ancaman bahaya sekelilingnya.
Ini lah pentingnya HAM dalam kehidupan manusia, yang di dalamnya terdapat sebuah peraturan-peraturan tentang melingdungi hak-hak manusia di dunia ini dalam rangka penegakan hukum di dunia dan di Indonesia. Bahwa manusia memerlukan perlindungan atas kepentingan-kepentingannya agar kepentingannya terlindungi dari ancaman bahaya di sekelilingnya. Dalam rangka penegakan HAM di Indonesia ini sangat rumit jika dipelajari, dimana perjalanan HAM di Indonesia ini sangat panjang dan beragam.
HAM atau Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Umat manusia memilkinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyaihak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk papaun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.[4] Dalam masyarakat yang individualitis ada kecenderungan pelaksanaan atas tuntutan pelaksanaan HAM ini agak berlebih-lebihan. HAM tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak, karena penuntutan pelaksanaan HAM secara mutlak berarti melanggar hak-hak yang sama dari orang lain.[5]
Wacana HAM terus berkembang seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Namun demikian, wacana HAM menjadi aktual karena sering dilecehkan dalam sejarah manusia sejak awal hingga kurun waktu kini.[6]  Gerakan dan diseminasi HAM terus berlangsung  bahkan dengan menembus batas-batas teritorial sebuah negara. Manfred Nowak menegaskan human rights must be considered one of the major achievements of modern day philosophy. Ruth Gavison juga menegaskan the twentieth century is often described as “the age of rights”.[7]
Bagi Indonesia, wacana HAM masuk dengan indah ke dalam benak-benak anak bangsa. HAM diterima, dpahami, dan diaktulisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan dan perkembangan sisio-politis yang berkembang. Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM ( Hak Asasi Manusia).

B.     Tujuan Penulisan
      Dalam hal ini penulis ingin mengungkapkan betapa pentinganya HAM di dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah peraturan tentang betapa pentingnya hak-hak asasi setiap individu ini dhargai dan dihormati, kerana setiap individu mempunyai hak yang sama dihadapan hukum. Misalkan : tentang Hak untuk hidup, Hak atas kesehatan, Hak atas pendidikan, Hak atas memeluk agama, dan lain-lain. Konsentrasi dalam pembentukan HAM di Indonesia ini masih sangat jauh apa yang seperti kita harapkan. Di dalam HAM juga mengatur beberapa peraturan tentang hak dan kebebasan.

















BAB II
ISI
A.    Sejarah Pengakuan HAM
Sejarah pengakuan HAM di dunia tentunya ada beberapa faktor di antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Piagam Madinah (600 M)
Kelahiran Piagam Madinah tidak lepas dari adanya hijrah Nabi Muhamad SAW dari Makkah ke Madinah, dan merupakan kepanjangan dari dua perjanjian sebelumnya yaitu bai’at aqabah 1 dan 2. Dan setelah hijrahnya Nabi ke Madinah, maka muncullah masyarakat Islam yang damai, tentram dan sejahtera di Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, dan beberapa kabilah arab dari Yahudi dan kaum musyrik Madinah. Dan setelah itu, maka Madinah menjadi pusat bagi kegiatan keislaman dan perkembangan dunia Islam.
Dengan tercapainya kesepakatan antar kaum di Madinah, maka semakin heterogenlah masyarakat yang menduduki Madinah. Selain itu, perjanjian ini juga menjadi sangat penting bagi diri Nabi sendiri. Piagam madinah ini secara tidak langsung menunjukkan kapasitas Nabi sebagai seorang pemimpin dan politikus yang ulung, ditandai dengan ;
a.       Keberhasilan Nabi Muhammad SAW menyatukan umat Islam dalam satu panji, yaitu Islam, dengan mengabaikan perbedaan suku, ras dan kabilah. Dan menyatukan hati semua kaum muslimin dalam satu perasaan.
b.      Menjadikan agama sebagai alasan yang paling kuat, sebagai pengerat antar umat mengalahkan hubungan antar keluarga.
c.       Bahwa ikatan yang terbangun atas dasar agama terdapat didalamnya hak-hak atas setiap individu, dan tercapainya kedamaian dan ketentraman umat.
d.      Adanya kesamaan hak antara kaum muslimin dan yahudi dalam hal maslahat umum, dan dibukannya pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin memeluk agama Islam dan melindungi hak-hak mereka.[8]
              Piagam madinah sendiri terdiri dari 70 pasal, dan ditulis dalam 4 tahapan yang berbeda. Pada penulisan pertama terdapat 28 pasal, yang di dalamnya mengatur hubungan antara kaum muslimin sendiri. Pada penulisan yang kedua ada 25 pasal yang mengatur hubungan antara umat Islam dan Yahudi. Penulisan yang ketiga terjadi setelah terjadinya perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-2 Hijrah, yang merupakan penekanan atau pengulangan dari pasal pertama dan kedua. Sedangkan pada tahap yang keempat ini hanya terdapat 7 pasal dan mengatur hubungan antara kabilah yang memeluk Islam.
2.      Magna Charta di Inggris
      Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta atau Piagam Agung. Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Isi Magna Charta adalah sebagai berikut :
a.       Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris.
b.      Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagi berikut :
-          Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk.
-          Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah.[9]
-          Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah       tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
-          Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.
3.      BILL OF RIGHTS
Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang :
-          Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen.
-          Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
-          Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin parlemen.
-          Hak warga Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing
-          Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.
4.      The Declaration of Independence di Amerika Serikat ( 6 juli 1776 )
      Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau. Kesemuanya atas jasa presiden Thomas Jefferson presiden Amerika Serikat lainnya yang terkenal sebagai “pendekar” hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow Wilson dan Jimmy Carter.
Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni :
-          Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
-          Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion).
-          Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
-          Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want). [10]
Kebebasan- kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan dari kekejaman dan penindasan melawan fasisme di bawah totalitarisme Hitler (Jerman), Jepang, dan Italia. Kebebasan – kebebasan tersebut juga merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk mencapai perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini pada hakikatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan mendasar.
B.     Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia
Sejarah tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia terbagi dalam 3 fase, yaitu sebelum kemerdeaan, setelah kemerdekaan dan puncaknya adalah pada saat tahun 1998 atau bisa dibilang pada saat era reformasi.
a.       Sebelum Kemerdeaan
Perdebatan dalam BPUPKI yaitu perdebatan tentang perlu tidaknya HAM dicantumkan dalam UUD dalam rapat besar Dokuritu Zyunbi Tyoosakai tanggal 15 juli 1945 yang telah menjadi bagian dari sejarah tentang adanya perbedaan pandangan antara politik hukum HAM Soekarno dan Supomo di satu sisi serta M. Yamin dan Hatta di sisi yang lain. Inti perbedaan pandangan mereka adalah menyangkut substansi HAM dan eksistensi negara oleh masing-masing pihak dikonstruksikan diantara paham individualisme, yang notabene dinilai sebagai karakter yang bersifat Barat dan kolektivitas yang dinilai sebagai karakter yang bersifat Timur.[11]
Di bawah ini merupakan perdebatan antara kedua kubu tersebut :
  Hatta dan Yamin setuju menolak paham liberalisme dan individualisme
  Hatta à jika hak warga negara tidak dijamin, dikhawatirkan negara terjebak dalam otoritarianisme
  Yamin à pencantuman hak tidak berhubungan dengan liberalisme dan individualisme, namun semata merupakan kesemestian perlindungan kemerdekaan
  Perdebatan ini diakhiri dengan diterimanya usulan Hatta dan Yamin, namun usulan yang diterima direduksi mejadi “hak warga negara” dan bukan “hak asasi manusia”. Artinya hak tersebut merupakan pemberian negara dan hal ini masih sangat berideologi positifis.[12]
b.      Setelah Kemerdekaan
-          Diterimanya Pasal 27 UUD 1945 yang menatur tentang Kebebasan Berserikat dan Berkumpul dan Pasal 29 tentang Kebebasan Beragama dalam arti sempit
-          Konstitusi RIS (1949) dan UUDS (1950) telah memuat hak asasi manusia secara lengkap. BAB V kedua UUD tersebut berjudul “Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia”.
-          Badan Konstituante (57-59) telah mencoba memasukkan Hak Asasi Manusia di dalam rancangan perubahan UUD 1945 yang mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Badan Konstituante dibubarkan pada 5 Juli 59.
-          MPRS (1968) sempat menyusun Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Rancangan Piagam ini gagal untuk disetujui.
-          Tahun 1971 Rancangan Piagam tersebut diajukan lagi, namun gagal untuk disetujui karena Fraksi Karya Pembangunan dan ABRI tidak mengakui atau melupakan keputusan tahun 1968.
c.       Pasca Reformasi
-          Suharto dilengserkan mahasiswa dan gerakan rakyat melalui instrumen reformasi
-          TAP MPR No. XVVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
-          Masuknya BAB Hak Asasi Manusia pada Pasal 28 UUD 1945 hasil amandemen
-          Disahkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
-          Disahkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
-          Disahkannya UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)
-          Disahkannya UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
-          Dan disahkannya berbagai peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

C.    Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ( DUHAM )
Instrumen internasional yang ada saat ini diawali dengan pembentukan PBB ( Perserikatan Bangsa-Bangsa ) pada tahun 1945 dan kerja Komisi Hak Asasi Manusia PBB ( suatu komisi fungsional di bawah Dewan Ekonomi dan social PBB ) dalam merumuskan tabulasi hak dan kebebasan dasar manusia yang dapat diterima.
PBB didirikan dengan tujuan utama untuk memelihara pedamaian dan keamanan, dan dengan demikian mencegah persengketaan atau konflik bersenjata yang mewarnai hubungan internasional.
1.      Struktur Pertauran Perundang-Undangan Hak Internasional ( International Bill of Rights )
Pada awalnya tanggungjawab Komisi Hak Asasi Manusia meliputi tiga elemen yaitu suatu pernyataan hak dan kebebasan, suatu daftar hak dan kebebasan yang mengikat secara hukum, dan yang terakhir, suatu mekanisme untuk membuat hak-hak tersebut dapat ditegakkan sehingga memberi manfaat langsung bagi seluruh umat manusia. Ini semualah yang menjadi peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia Internasional, suatu cetak biru konstitusional untuk Tata Dunia Baru yang menentukan hak dan kebebasan yang disepaakti dan dapat ditegakkan secara universal.
DUHAM adalah elemen pertama dari Peraturan Perundang-Undangan HAM Internasional ( International Bill of Rights ), yakni suatu tabulasi hak dan kebebasan fundamental. Kovenan-kovenan internasional menetapakan tabulasi hak yng mengikat secara hukum dan Protokol Tambahan pada konvenan international tentang hak sipil dan hak politik serta kedua komite yang memantau penerapan setiap Kovenan menyediakan mekanisme bagi penegakan hak-hak tersebut.
2.      Isi
Hak dan kebebasan yang tercantum dalam DUHAM mencakup sekumpulan hak yang lengkap baik itu hak sipil, politik, budaya, ekonomi, social, dan tiap individu maupun beberapa hak kolektif.[13] Hubunga dengan kewajiban juga dinytakan dalam pasal 29 (1) : “semua orang memiliki kewajiban kepada masyarakat di mana hanya di dalamnya perkembangan kepribadiannya secara bebas sepenuhnya dimungkinkan”. Instrument-instrumen yang dikeluarkan setelah DUHAM tidak mencakup tabulasi kewajiban.[14]
D.    Politik Hukum Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (HESB)
DUHAM sejak diadopsi tahun 1948 telah mengafirmasikan betapa penting dan fundamental terpenuhinya dua macam kebebasan bagi umta manusia, terpenuhinya dua macah kebebasan bagi umat manusia, yaitu freedom of want dan freedom from need. Sementara fakta di lapangan menunjukkan bahwa semenjak berakhirnya Perang Dunia II, lebih banyak orang meninggal akibat malnutrisi, kelaparan, dan wabah penyakit ketimbang gabungan jumlah keseluruhan korban berbagai perang yang terjadi dan korban yang rezim represif yang secara sistematis melanggar hak-hak sipil dan hak-hak politik warganya demi mempertahankan kekuasaan mereka.
Pemenuhan HESB baru menjadi perbincangan serius belakangan ini di dalam konteks wacana HAM di Indonesia, khusunya yang berikatan dengan hak pangan, pendidikan, pekerjaan dan perumahan, setelah rezim otoritarian berakhir. Meskipun dalam kenyataannya, semua rezim demokrasi yang muncul setelah tumbangnya rezim otoritarian masih tetap menempatkan HSP sebagai prioritas perubahan dalam konstitusinya, tidak terkecuali Indonesia.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, politik hukum HAM era reformasi, khususnya terhadap HSP dan HESB telah dimasukkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 perubahan pada sejumlah pasal. HSP memang diatur dalam banyak pasal, tegas dan terperinci, bahkan telah ditindaklanjuti  kedalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Sementara HESB, sekalipun masih terbatas, tetapi jauh lebih maju dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan.[15]
Dari berbagai aspek hak yang diatur dalam Kovensi HESB, hak atas pendidikan[16] sebagai salah satu hak dasar manusia dan warganegara diatur impresif karena menekankan ketentuan khusus mengenai konsekuensi hak yang menimbulkan kewajiban pada pemerintah untuk menanggung beban biaya pendidikan. Pemerintah bahkan harus memprioritaskan sekurang-kurangnya 20% dari APBN, serta dari anggaran APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional (pasal 31 ayat 4 ).
Di luar hak atas pendidikan, UUD 1945 juga mengatur hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,[17] hak untuk memilik keturunan,[18] hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, [19] hak memilih pekerjaan, [20] hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelanyanan kesehatan,[21] hak atas jaminan social yang memungkinkan perkembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat,[22] hak bagi fakir miskin dan anak terlantar diplihara oleh negara,[23] hak mendapatkan sistim jaminan social bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan,[24] hak atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak dari pemerintah.[25]





BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Perlu dicatat, bahwa dari segi hukum, dalam sepuluh tahun terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM. Seperti diketahui, ada sejumlah produk hukum yang penting tentang HAM. Mulai dari dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/1998, amandemen UUD 1945 yang secara eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai hak- hak asasi manusia, UU No.39/1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.
Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Namun demikian tidak berarti bahwa perjuangan HAM sebagaimana dilakukan oleh lembaga-lembaga di luar negeri tidak penting. Peran masyarakat tetap penting, karena institusi Negara biasanya memiliki kepentingannya sendiri. Lebih-lebih bila dilihat dari logika penegakan HAM, dengan kekuasaan yang dimilikinya Negara, lebih khusus aparat pemerintah terutama yang berurusan dengan keamanan dan pertahanan, termasuk yang paling potensial melakukan pelanggaran HAM. Tetapi sebaliknya Negara termasuk aparat kekuasaannya (Polisi dan Tentara) berkewajiban, bukan hanya melindungi, menghormati dan memberi jaminan atas HAM akan tetapi bila dilihat dari penegakan supremasi hukum maka pemerintah dituntut untuk semakin menyempurnakan dan membenahi perangkat hukum dan perundang-undangan yang kondusif bagi penegakan HAM.
B.     SARAN
Untuk mewujudkan hal ini, mau tidak mau diperlukan suatu grand agenda yang perlu dilakukan, yaitu :
1)      Terus menyempurnakan Produk-produk hukum, perundang-undangan tentang HAM. Produk hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat konstitusi yang secara eksplisit sudah memberi dasar bagi perlindunan dan jaminan atau HAM. Termasuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam konvensi/kovenan internasional tentang HAM, baik dari segi materi tentang HAM-nya itu sendiri maupun tentang kelembagaan Komnas HAM dan peradilan HAM.
2)      Melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai UU yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa UU yang dihasilkan dalam sepuluh tahun terakhir ini. Hal ini sebagai konsekuensi dari watak rejim sebelumnya yang memang anti- HAM, sehingga dengan sendirinya produk UU-nya pun kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda ini sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut protocol operasionalnya. Dari segi ukuran maupun substansi serta permasalahannya hal ini merupakan agenda raksasa. Untuk itu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan masyarakat yang memiliki perhatian yang sama seperti kalangan LSM bidang hukum. Dan untuk itu pula perlu dibuat skala prioritas supaya perencanaannya realistis dan pelaksanaannya dilakukan bertahap.
3)      Mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM. Penulis tidak ingin ikut membicarakan persoalan memburuknya kondisi system peradilan kita, akan tetapi yang perlu diprioritaskan dalam pengembangan kelembagaan ini adalah meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk di dalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM. Ini harus disadari betul mengingat masalah HAM baru masuk secara resmi dalam beberapa tahun terakhir ini saja dalam sistem peradilan kita. Bahkan, perlu diakui secara jujur masih banyak, kalau tidak mau dikatakan pada umumnya, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Lebih-lebih untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.
4)      Pentingnya sosialisasi dan pemahaman tentang HAM itu sendiri, khususnya di kalangan pemerintahan, utamanya di kalangan instansi yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah HAM. Sosialisasi pemahaman HAM ini, lagi-lagi merupakan pekejaan raksasa, dan sangat terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam melaksanakan bidang kerjanya. Gamangnya aparat pemerintah dalam mengurusi dan ber-urusan dengan masyarakat yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin meningkat ini disebabkan, antara lain bukan semata-mata karena kurang memahami masalah HAM, akan tetapi juga karena mereka umumnya kurang dapat melaksanakan rambu-rambu profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun aparat keamanan.
5)      Terakhir, adalah kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan, terutama kalangan Ornop/LSM, akademisi/perguruan tinggi dan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap penegakan hukum dan HAM seharusnya menjadi agenda yang terprogram dengan baik. Bukan saatnya bagi instansi pemerintah tertutup dengan kalangan masyarakat sebagaimana terjadi di masa lalu. Dalam kerangka mengembangkan iklim yang lebih demokratis, kini saatnya kalangan pemerintah, bersikap lebih terbuka kepada masyarakat, lebih- lebih untuk keinginan bersama memajukan HAM dalam konteks penegakan hukum. Perlu disadari bahwa kalangan di luar pemerintah, seperti lembaga LBH /YLBHI, sudah lama berkecimpung di bidang penegakan HAM, sejak ketika HAM masih dipandang sebagai masalah sensitif atau bahkan subversif secara politik. Pengalaman panjang mereka dapat dimanfaatkan untuk penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam penegakan HAM.



DAFTAR PUSTAKA
Sudikno Mertokusumo. 2011.  Teori Hukum. Universitas Atma Jaya : Yogyakarta.
PUSHAM UII.
Kansil. 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Rineka Cipta : Jakarta.
Suparman Marzuki. 2011. Tragedi Politik Hukum HAM. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Ifdhal Kasim. 2009. Dimensi-Dimensi HAM. Rajawali Pers : Jakarta.
Badri Yatim. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Rajawali Pers : Jakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


[1] Sudikno Mertokusumo. 2011.  Teori Hukum. Universitas Atma Jaya : Yogyakarta. hal 13
[2] Ibid. hal 14
[3] Ibid. hal 17
[4] PUSHAM UII. hal 11
[5] Kansil. 2008. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Rineka Cipta : Jakarta. hal. 223
[6] Ifdhal Kasim. 2009. Dimensi-Dimensi HAM. Rajawali. Pers : Jakarta. hal 1
[7] Ibid. hal 2
[8] Badri Yatim. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Rajawali Pers : Jakarta. hal 30
[11] Suparman Marzuki. 2011. Tragedi Politik Hukum HAM. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Hal 182
[12] Ibid. Hal 190
[13] PUSHAM UII. Hal 88
[14] Ibid. hal 89
[15] Op Cit. hal 464
[16] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( Pasal 31 ayat : 1 dan 2 )
[17] Undang-Undang Dasar Negara  Republik Indonesia Tahun  1945 (Pasal 27 ayat : 2)
[18] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 28B ayat : 1)
[19] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 (Pasal 28D ayat : 2)
[20] Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 28E ayat : 1)
[21] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 28H ayat : 1)
[22] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 28H ayat : 3)
[23] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 34 ayat : 1)
[24] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 34 ayat : 2)
[25] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 34 ayat : 3)